Ay Bis Ci Dhy Ef

Ay Bis Ci Dhy Ef Part 1

Ini senja kelana, kasih saya tantangan lagi buat lanjutin postingannya. -____- dan kenapa harus nama saya si tokoh utamanya.

Dhyala menyugar rambut ikalnya yang basah. Percikkannya menyentuh pipi Ayumie, ia meringis sekilas. Sepanjang perjalanan keduanya saling diam, membiarkan keheningan menyelinap melalui celah diantara mereka. Ayumie bisa menikmati keheningan itu selama apapun, asal, Dhyala tidak membuat percakapan yang membahas soal Efrient.

Apa yang dilakukan pemuda disampingnya itu hanya spontanitas saja, iya, itulah yang dipikiran Ayumie. Entah mengapa, tapi sesuatu membuncah tak terdefinisi, Ayumi memilih diam, enggan mengartikannya.

“Makan dulu? Ngopi deh, mau gak?” Tanya Dhyala tiba-tiba, setelah terjadi hening cukup lama.

Tidak ada jawaban, tapi Ayumi memberi respon dengan anggukan kecil di kepalanya.

“Di ujung sana ada kafe bagus, pas banget hujan gini, iya, gak?”

“Hmm…” Gumam Ayumi datar.

Dhyala menyadari perubahan itu, mengatupkan bibirnya perlahan. Menatapnya selama beberapa detik. Andai ia bisa menebak apa isi di kepala Ayumi, dan ingin tahu apa saja yang dipikirkannya. Mungkin ia tidak akan merasa cemas seperti ini.

Sayup-sayup suara Christina Bautista mengalun lembut, mengusap indera perasa kedua manusia tengah saling diam, Dhyala dengan pikirannya, menduga-duga, Ayumi diam untuk meredam segala perasaan tak ia pahami, mengapa ia marah melihat aksi Dhyala tadi.

If you love me like you tell me
Please be careful with my heart
You can take it just don’t break it
Or my world will fall apart.

“Kelewat Ay,” sergah Dhyala saat melihat neon nox bertuliskan Coffe Break dengan cepat bergerak menjauh.

Ciiit!

Tubuh Dhyala nyaris saja menyentuh dashboard,”Ya ampun, kenapa sih?” Tanya Dhyala heran.

“Sori.” Respon datar kembali didapat.

Dhyala menarik napas panjang. Menegakkan punggung, dahinya berlipat-lipat, ia mencemaskan sesuatu. Apa yang salah? Tanya Dhyala pada dirinya sendiri.

Paragraf 3

Aku mendongak, membalas senyum dua pria bertubuh tegap berseragam polisi. Aku mereguk ludah, upaya apa pun agar tidak ketara gugup ini terpatri jelas.

Pria berkulit gelap, dengan kumis lebat, menelitiku dari ujung kepala sampai kaki. Jantungku menggelepar, menghalau segala pertanyaan berkerumun di kepala.

“Ya, ada apa Pak?” Tanyaku serak.

“Minta waktunya sebentar, Pak.”

Wajahku memanas, saat pria bersetelan serba hitam muncul dari arah belakang dua pria berseragam polisi. Sekarang mereka berjumlah lima orang.

Jantungku menggelepar.